PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia
adalah negara yang sangat beragam sukunya, mulai dari suku Ambon, suku Batak,
suku Madura, suku Jawa, suku Betawi dan suku lainnya. Dengan keberagaman suku
di Indonesia maka banyak sekali kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia menjadikan negeri Indonesia
adalah negeri yang kaya akan identitas sehingga semakin kuat ciri yang dimiliki sebagai jati diri bangsa.
Namun pada dewasa ini masyarakat Indonesia sendiri sebagai pemilik jati diri
telah lupa untuk merawat dan menjaga kebudayaaan yang dimilikinya,sehingga
banyak tangan dari negara lain yang ingin merebut kebudayaan yang dimiliki
bangsa Indonesia. Salah satu kebudayaan Indonesia yang ingin direbut adalah
batik. Negara tetangga kita, yaitu Malaysia
yang mengaku memiliki rumpun yang sama dengan bangsa Indonesia mencoba
untuk mengklaim batik sebagai kebudayaan yang dimilikinya. Hal in sungguh sangat
memprihatinkan, karena ketidak pedulian masyarakat Indonesia terhadap budayanya
sendiri, membuat kebudayaan yang dimilikinya dapat direnggut dengan mudah oleh
banngsa lain. Oleh karena itu sebagai suatu bangsa yang besar mari kita
memperjuangkan dan mempertahankan budaya yang menjadi milik kita dengan terus
mencintai dan melestarikannya, sehingga bangsa lain enggan dan tidak mungkin
berani untuk mengklaim kebudayaan yang dimilliki bangsa kita.
B. Rumusan Masalah
Makalah ini membahas
rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana uraian kasus klaim batik Indonesia oleh Malaysia ditinjau dari
aspek HAM?
2. Bagaimana uraian kasus batik Indonesia yang di klaim Malaysia ditinjau dari
aspek demokrasi?
3. Bagaimana uraian kasus batik Indonesia yang di klaim Malaysia ditinjau dari
aspek Rule of Law?
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini mempunyai
tujuan sebagai berikut.
1. Menguraikan kasus klaim batik Indonesia oleh Malaysia ditinjau dari aspek
HAM.
2. Menguraikan kasus klaim batik Indonesia oleh Malaysia ditinjau dari aspek
demokrasi.
3. Menguraikan kasus klaim batik Indonesia oleh Malaysia ditinjau dari aspek
Rule of Law.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
KLAIM BATIK INDONESIA OLEH MALAYSIA DITINJAU DARI ASPEK HAM
Menurut segi historisnya Indonesia memiliki
rumpun yang sama dengan Malaysia yaitu melayu. Maka tidak heranlah jika Indonesia memiliki bahasa, agama, rumpun yang
dikatakan tidak begitu banyak perbedaan. Malaysia beranggapan juga bahwa karena
Indonesia dan Malaysia adalah rumpun yang sama, maka kebudayaan dan kebanyakan
hal yang dimiliki Indonesia juga merupakan milik Malaysia.
Jadi banyak sekali
kasus klaim budaya yang dilakukan Malaysia terhadap Indonesia. Salah satunya
adalah batik. Walaupun dikatakan bahwa MALAYSIA TIDAK
PERNAH MEMATENKAN BATIK, karena BATIK MILIK INDONESIA. Yang dipatenkan oleh
Malaysia HANYA MOTIF DAN CORAK, BUKAN BATIKNYA. Namun sejak tanggal 2 Oktober
2009, batik Indonesia secara resmi telah diakui oleh UNESCO. Batik dimasukkan ke dalam Daftar
Representatif sebagai Budaya Tak Benda Warisan Manusia (representative
list of the intangible cultural heritage of humanity) dalam Sidang ke-4
Komite Antar-Pemerintah (fourth session of the intergovernmental committee)
tentang Warisan Budaya Tak Benda di Abu Dhabi.
Untuk mempertahankan budaya yang dimilikinya,
bangsa Indonesia telah mengaturnya dalam
UUD 1945 amandemen ke
empat, pasal 32 yg terdiri dari 2 ayat.
a.
Ayat (1) berbunyi: "Negara memajukan
kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin
kekebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
budayanya."
Jika ayat (1) ini dirinci, ada 3 potongan makna
yang terkandung di dalamnya. Pertama, "Negara memajukan
kebudayaan nasional Indonesia….". Potongan kalimat kedua
berbunyi,"…di tengah peradaban dunia…", penegasan bahwa kebudayaan
Indonesia adalah bagian dari kebudayaan dan perdaban dunia. Potongan kalimat
ketiga, "….dengan menjamin kebebasan masyarakat untuk memelihara dan
mengembangkan nilai-nilai budayanya" merupakan cerminan pemenuhan
kehendak tentang perlunya kebebasan dalam mengembangkan nilai budaya masing-masing
suku bangsa.
b. Ayat (2) berbunyi, "Negara menghormati dan
memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional", ini
berarti bahwa masalah bahasa (daerah) sudah dengan sendirinya merupakan salah
satu kekayaan (bagian) dari kebudayaan bangsa.
Jaminan seperti yang
tertuang dalam kedua ayat tersebut sudah semestinya menjadi kekuatan dan
semangat bagi anak bangsa untuk tetap mau mempelajari, menghayati, mengamalkan, dan mempertahankan
seni budaya bangsa, khususnya pemerintah secara institusional selaku pengambil
kebijakan.
Faktanya, Indonesia
hingga saat ini tidak memiliki data lengkap mengenai identitas budaya yang tersebar di setiap
daerah. Perlindungan hak cipta terhadap seni budaya juga sangat lemah,
sedangkan publikasi multimedia secara internasional mengenai produk seni budaya
masih sangat minim. Dan yang paling parah Indonesia juga menghadapi persoalan
buruknya birokrasi pendataan hak cipta. Meskipun permohonan pendaftaran hak
cipta mengenai seni budaya sudah disampaikan, belum tentu permohonan tersebut
segera diproses dan dipublikasikan. Sejak 2002 sampai Juni 2009, misalnya,
sudah ada 24.603 permohonan pendaftaran hak cipta bidang seni yang disampaikan
ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia (Depkum dan HAM). Namun, hingga saat ini, permohonan yang disetujui
belum dipublikasikan. Hal ini juga terkait dengan belum adanya dasar hukum
formal.
Hak Cipta batik tradisional yang ada dipegang oleh
negara (Pasal 10 ayat 2 UUHC Tahun 2002). Hal ini berarti bahwa negara menjadi
waki lbagi seluruh masyarakat Indonesia dalam menguasai kekayaan tradisional
yang ada. Perwakilan oleh negara dimaksudkan untuk menghindari sengketa
penguasaan atau pemilikan yang mungkin timbul di antara individu atau kelompok
masyarakat tertentu. Selain itu penguasaan oleh negara
menjadi penting khususnya apabila terjadi pelanggaran Hak Cipta atas batik
tradisional Indonesia yang dilakukan oleh warga negara asing dari negara lain
karena akan menyangkut sistem penyelesaian sengketanya.
Pasal 10 Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta menyatakan bahwa Negara Indonesia memegang Hak Cipta atas karyakarya
anonim, di mana karya tersebut merupakan bagian dari warisan budaya komunal
maupun bersama. Perlindungan pengetahuan
tradisional dan ekspresi kebudayaan biasanya dikaitkan dengan sistem
perlindungan hak atas kekayaan intelektual
Pembentukan perundang-undangan di bidang HKI merupakan
bentuk perlindungan agar masyarakat memperoleh kemanfaatan itu. Dengan kata
lain, rezim HKI merupakan sebuah bentuk kompensasi dan dorongan bagi orang
untuk mencipta. Demikian pula halnya jika inisiatif itu muncul dengan gagasan
penggunaan rezim HKI, maka rezim HKI itu harus dapat menjamin bahwa para pelaku
seni dapat :
1.
menikmati
kebebasan berekspresi
2.
dapat menikmati
suatu kondisi di mana mereka dapat menciptakan kreasi-kreasi baru dalam tradisi
yang bersangkutan
3.
mewariskan
kemampuan kreatifnya itu dari generasi ke generasi.
Karya cipta seni batik sebagai ciptaan yang
dilindungi, maka pemegang Hak Cipta seni batik memperoleh perlindungan selama hidupnya
dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah meninggal dunia
(Pasal 29 ayat 1 UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta). Selama jangka waktu
perlindungan tersebut, pemegang Hak Cipta seni batik memiliki hak eksklusif
untuk melarang pihak lain mengumumkan dan memperbanyak ciptaannya atau memeberi
izin kepada orang lain untuk melakukan pengumuman dan perbanyakan ciptaan yang
dipunyai tanpa mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 ayat 1 UUHC 2002). Jangka waktu
perlindungan tersebut diberikan bagi seni batik yang bukan tradisional,
sedangkan bagi seni batik tradisional, misalnya motif “Parang Rusak” tidak
memiliki jangka waktu perlindungan.
B.
KLAIM BATIK OLEH MALAYSIA DITINJAU DARI ASPEK DEMOKRASI
Kata
demokrasi merujuk kepada konsep kehidupan negara atau masyarakat, dimana warga
negara dewasa turut berpartisipasi dalam pemerintahan melalui wakilnya yang
diplih. Pemerintahan di Negara demokrasi juga mendorong dan menjamin
kemerdekaan berbicara, beragarna, berpendapat, berserikat setiap warga Negara,
menegakan rule of law, adanya pemerintahan menghormati hak-hak kelompok
minoritas. Disini, Demokrasi
menjamin kebebasan-kebebasan dasar tentang hak-hak sipil dan politis; hak
kebebasan berbicara dan berekspresi, hak berserikat dan berkumpul, hak bergerak,
dsb. Hak-hak itu memungkinkan pengembangan diri setiap individu dan
memungkinkan terwujudnya keputusan-keputusan kolektif yang lebih baik.
Pada kasus ini nilai demokrasi juga dijunjung tinggi
terlihat dari Penetapan batik oleh UNESCO bermaksud menekankan
perlindungan warisan budaya, yaitu
batik. Warisan yang masih hidup dan diturunkan
dari generasi ke generasi, memberikan komunitas dan kelompok rasa identitas dan
keberlangsungan, dan dianggap sebagai upaya untuk menghormati keanekaragaman
budaya dan kreatifitas manusia.
Untuk mengetahui apakah suatu pemerintahan
dilaksanakan secara demokratis atau tidak tergantung criteria:
a. Partisipasi dalam
pembuatan keputusan.
b. Persamaan di depan
hukum
c. Ketersediaan dan
keterbukaan informasi
d. Kebebasan individu
e. Hak untuk protes
f. Kebebasan individu
terutama bebas dari rasa takut
Menyangkut bebas dari rasa takut tersebut, salah
satu faktor mengapa batik diklaim oleh manusia karena kita mungkin terlalu takut kepada Negara
pengklaim tersebut. Mungkin
bangsa Indonesia takut dengan Malaysia , mungkin juga tidak, mungkin sebagian
bangsa Indonesia tidak tahu. Kita memang tidak kuasa atas apa yang telah
diperbuat oleh Malaysa atas pengklaimannya. Dunia menilai bahwa Malaysia lebih
pantas memiliki kebudayaan kita, juga kepulauan kita. Hal ini sangat miris,
karena kita tidak mampu menghadapi Malaysia dan membuktikan bahwa itu memang
milik kita.
Dalam kasus klaim batik yang
dilakukan Malaysia, sebenarnya Indonesia telah menunjukkan parameter bahwa demokrasi
di Indonesia telah bejalan. Hal ini terlihat dari :
o Selain Pembentukan
pemerintahan melalui pemilu, Sistem pertanggungjawaban pemerintah telah
mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan buktinya pemerintah telah
mengajukan kasus ini ke UNESCO agar mengakui bahwa Batik milik Indonesia.
o
Pengawasan oleh rakyat. Demokrasi membutuhkan system
pengawasan oleh rakyat terhadap jalannya pemerintahan, sehingga terjadi
mekanisme yang memungkinkan chek and balance terhadap kekuasaan yang dijalankan
eksekutif dan legislative. Penanganan kasus ini juga telah diketahui rakyat dan
tidak di tutup-tutupi.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya
berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang
diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat. Jadi ketika batik di klaim
oleh Malaysia terutama batik Jawa, pemerintah turut turun tangan menangani hal
semacam ini. oleh karena itu dalam negara demokratis, diperlukan hubungan antar negara dan
masyarakat secara seimbang. Demokrasi memerlukan sebuah negara yang kuat tetapi
menghormati hukum, legislative, media massa dan rakyat.negara yang seperti inilah
yang data member perlindungan bagi rakyat. Disini perlindungan negara
ditunjukkan demi melindungi identitas bangsa Indonesia sebagai bagian dari
kebudayaan milik rakyat.
C.
KLAIM BATIK OLEH MALAYSIA DITINJAU DARI ASPEK RULE OF LAW
Rule of Law merupakan
doktrin dengan semangat dan idealisme keadilan yang tinggi seperti supremasi
hukum dan kesamaan setiap orang di depan hukum. Rule of Law mengandung gagasan bahwa
keadilan dapat dilayani melalui pembuatan sistem peraturandan prosedur yang
sengaja bersifat objektif, tidak memihak , tidak personal dan otonom.
Kedudukan yang sama di depan hukum terlihat
dari enam negara yang merupakan perwakilan dari UNESCO
telah melakukan pengkajian terhadap budaya batik. Jadi Indonesia mendapat perlakuan yang samadi depan hukum dan tidak
dibeda-bedakan. Walaupun pengajuannya kurang lebih selama 3 tahun namun
akhirnya perjuangan Indonesia untuk
mendapatkan pengakuan dunia atas batik sebagai warisan budaya asli Indonesia tidak
sia-sia. United Nation Educational,
Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menetapkan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan
nonbendawi (Masterpieces of The Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak
2 Oktober 2009. Batik dimasukkan ke dalam Daftar
Representatif sebagai Budaya Tak Benda Warisan Manusia (representative
list of the intangible cultural heritage of humanity) dalam Sidang ke-4
Komite Antar-Pemerintah (fourth session of the intergovernmental committee)
tentang Warisan Budaya Tak Benda di Abu Dhabi.
Di sini batik memang sering ditemui dan diakui dimiliki negara lain. Namun
inskripsi oleh UNESCO tadi berarti dunia telah resmi mengakui batik Indonesia
sebagai identitas rakyat Indonesia dan dengan sendirinya batik Indonesia berhak
mendapat perlindungan internasional.
Upaya agar batik
Indonesia diakui Unesco memang telah melewati perjuangan dan jalan panjang
dengan melibatkan pemangku kepentingan terkait industri batik. Di antara
pemangku kepentingan terhadap batik adalah unsur pemerintah Indonesia sendiri,
kalangan perajin batik, pakar batik, asosiasi pengusaha batik, yayasan dan
lembaga batik maupun masyarakat luas dalam penyusunan dokumen nominasi. Sukses
pengakuan ini juga tidak lepas dari kerja keras Perwakilan R.I di negara-negara
anggota tim juri yakni Uni Emirat Arab, Turki, Estonia, Meksiko, Kenya dan
Korea Selatan serta Unesco Paris.
Indonesia sebagai salah satu negara yang terdiri dari berbagai macam
suku dan sangat kaya akan keragaman tradisi dan budaya, Indonesia tentunya
memiliki kepentingan tersendiri dalam perlindungan hukum terhadap kekayaan
intelektual masyarakat asli tradisional. Akan tetapi karena perlindungan hukum
terhadap kekayaan intelektual masyarakat asli tradisional masih lemah, potensi
yang dimiliki oleh Indonesia tersebut justru lebih banyak dimanfaatkan oleh
pihak asing secara tidak sah. Hal ini disebabkan karena kurangnya kesadaran
Negara Republik Indonesia dalam hal ini Pemerintah Indonesia sebagai pemegang
Hak Cipta atas seni batik tradisional tidak memanfaatkan dan melaksanakan
Undang-Undang Hak Cipta yang sudah ada sejak tahun 1982 sampai dengan tahun
2002 yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penggunaan/pemanfaatan budaya
tradisional Indonesia khususnya seni batik tradisional yang dilakukan oleh
pihak asing. Untuk pelanggaran terhadap seni batik yang dilakukan di dalam
negeri pun masih jarang yang diselesaikan melalui jalur hukum, apalagi untuk melakukan
tindakan atas pelanggaran yang dilakukan oleh pihak asing.
Belum dilaksanakannya tindakan hukum atas pelanggaran
yang dilakukan oleh pihak asing terhadap penggunaan/pemanfaatan kebudayaan
tradisional Indonesia karena pemerintah Indonesia juga memiliki kekhawatiran
takut akan digugat kembali oleh negara lain karena tindakan pembajakan yang
selama ini sering dilakukan. Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia pun telah
terkenal sebagai negara yang sering melakukan peniruan atau pembajakan terhadap
karya cipta dari negara lain, bahkan sempat termasuk dalam daftar sebagai
negara pelaku pembajakan karya intelektual asing dalam tingkat yang
mengkhawatirkan.
Untuk mempertahankan budaya yang dimilikinya,
bangsa Indonesia telah mengaturnya dalam
UUD 1945 amandemen ke
empat, pasal 32 yg terdiri dari 2 ayat.
a.
Ayat (1) berbunyi: "Negara memajukan
kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin
kekebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
budayanya."
Jika ayat (1) ini dirinci, ada 3 potongan makna
yang terkandung di dalamnya. Pertama, "Negara memajukan
kebudayaan nasional Indonesia….". Potongan kalimat kedua
berbunyi,"…di tengah peradaban dunia…", penegasan bahwa kebudayaan
Indonesia adalah bagian dari kebudayaan dan perdaban dunia. Potongan kalimat
ketiga, "….dengan menjamin kebebasan masyarakat untuk memelihara dan
mengembangkan nilai-nilai budayanya" merupakan cerminan pemenuhan
kehendak tentang perlunya kebebasan dalam mengembangkan nilai budaya
masing-masing suku bangsa.
b. Ayat (2) berbunyi, "Negara menghormati dan
memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional", ini
berarti bahwa masalah bahasa (daerah) sudah dengan sendirinya merupakan salah
satu kekayaan (bagian) dari kebudayaan bangsa.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Indonesia memiliki rumpun yang sama dengan Malaysia yaitu melayu. Maka tidak heranlah jika Indonesia memiliki
bahasa, agama, rumpun yang dikatakan tidak begitu banyak perbedaan. Jadi banyak sekali
kasus klaim budaya yang dilakukan Malaysia terhadap Indonesia. Salah satunya
adalah batik.
1. Dilihat dari asspek
HAM:
Pasal 10 Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta menyatakan bahwa Negara Indonesia memegang Hak Cipta atas karyakarya
anonim, di mana karya tersebut merupakan bagian dari warisan budaya. Perlindungan
pengetahuan tradisional dan ekspresi kebudayaan biasanya dikaitkan dengan
sistem perlindungan hak atas kekayaan intelektual, menjamin bahwa para pelaku
seni dapat :
-
menikmati
kebebasan berekspresi
-
dapat menikmati
suatu kondisi di mana mereka dapat menciptakan kreasi-kreasi baru dalam tradisi
yang bersangkutan
-
mewariskan
kemampuan kreatifnya itu dari generasi ke generasi.
2. Dari aspek
demokrasi
Dalam kasus
klaim batik yang dilakukan Malaysia, sebenarnya Indonesia telah menunjukkan
parameter bahwa demokrasi di Indonesia telah bejalan. Hal ini terlihat dari :
a.
Selain Pembentukan pemerintahan melalui pemilu, Sistem
pertanggungjawaban pemerintah telah mempertanggungjawabkan kinerjanya secara
transparan buktinya pemerintah telah mengajukan kasus ini ke UNESCO agar
mengakui bahwa Batik milik Indonesia.
b.
Pengawasan oleh rakyat. Demokrasi membutuhkan system
pengawasan oleh rakyat terhadap jalannya pemerintahan, sehingga terjadi
mekanisme yang memungkinkan chek and balance terhadap kekuasaan yang dijalankan
eksekutif dan legislative. Penanganan kasus ini juga telah diketahui rakyat dan
tidak di tutup-tutupi.
3.
Dilihat dari
aspek Rule of Law
Kedudukan yang sama di depan hukum terlihat dari enam
negara yang merupakan perwakilan dari UNESCO telah melakukan pengkajian
terhadap budaya batik. Jadi Indonesia
mendapat perlakuan yang sama di depan hukum dan tidak dibeda-bedakan.
Untuk
mempertahankan budaya yang dimilikinya, bangsa Indonesia telah mengaturnya dalam UUD 1945 amandemen ke
empat, pasal 32 yg terdiri dari 2 ayat.
B. SARAN
Indonesia dan Malaysia
merupakan negara yang satu rumpun melayu. Namun, pada kenyataannya masih
terdapat konflik antara Indonesia dan Malaysia. Untuk itu, hubungan Indonesia
dengan Malaysia perlu dieratkan, yaitu dengan cara menjalin kerjasama yang baik
dalam segala hal.
DAFTAR PUSTAKA
Suryono, Hassan. 2007.Pendidikan
Kewarganegaraan Di Perguruan Tinggi.Surakarta: TIM MKU
Winarno.2007. Paradigma
Baru Pendidikan Kewarganegaraan Panduan Kuliah Di Perguruan Tinggi.
Jakarta: PT Bumi Aksara